Menyimpan Rapat Sejuta Misteri, Ini Mitos, Keunikan, Sejarah Gunung Lawu

Senin, 02 November 2020 : 23.59

0 komentar

Kawasan Gunung Lawu diyakini pusat dari segala rahasia Tanah Jawa dan Nusantara


Gunung Lawu (Foto;tripjalanjalan)

TERAS WISATA - Gunung Lawu salah satu gunung yang cukup dikenal di Pulau Jawa. Dibandingkan gunung lainnya di Indonesia, gunung yang dahulunya dikenal dengan nama Wukirmahendra ini sangat kental dengan nuansa mistisnya. Bahkan kawasan Gunung Lawu diyakini pusat dari segala rahasia Tanah Jawa dan Nusantara.


Meski susana mistis tak bisa dipisahkan dari gunung yang masuk kedalam Seven Summits of Java (Tujuh Puncak Pulau Jawa),gunung yang secara administratif berada di dua provinsi dan tiga kabupaten, yakni di Kabupaten Ngawi dan Magetan, Jawa Timur, serta di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah ini paling banyak dikunjungi dan sangat digemari oleh para pendaki.


Untuk menuju ke puncak, masyarakat biasannya naik melalui tiga jalur utama pendakian untuk menuju puncak Gunung Lawu, yaitu Cemorokandang di Tawangmangu, Candi Cetho di Karanganyar (Jawa Tengah), Cemorosewu di Sarangan (Jawa Timur). 


Sebenarnya ada satu lagi jalur menuju ke puncak selain ketiga jalur utama yang populer dan cukup dikenal itu,yaitu jalur pendakian alternatif dari suatu tempat bernama Singolangu, termasuk dalam wilayah Magetan.


Gunung setinggi 3.265 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu berstatus pasif. Gunung ini terakhir meletus di akhir abad 18 atau sekitar tahun 1835. Kendati begitu di puncak Lawu masih terlihat aktivitas vulkanik terlihat dari munculnya uap air dan belerang.


Cerita Brawijaya V raja Majapahit V ke puncak Gunung Lawu bersama para abdi Dalemnya tak bisa dipisahkan dari Gunung Lawu. Meskipun dari cerita rakyat, Gunung Lawu tak hanya Brawijaya saja yang pernah naik kepuncakya. Namun jauh sebelum Brawijaya, Raja Airlangga pun konon pernah naik ke puncak Gunung Lawu.


Berikut ini sejarah tentang Gunung Lawu yang jarang diketahui orang:


Gunung Lawu merupakan salah satu Gunung yang ada di Indonesia. Tak seperti gunung-gunung lainnya di Indonesia, gunung ini tak bisa dipisahkan dari mitos-mitos tradisional atau cerita turun-temurun. 


Bahkan, kearifan lokal yang ada diyakini diujung keruntuhan Kerajaan Majapahit (1400 M), Brawijaya V atau Raja Majapahit terakhir mengasingkan diri ke gunung Lawu bersama pengikutnya yang bernama Sabdo Palon.


Konon dari kearifan lokal yang berkembang, saat itu raja Majapahit itu resah ketika putra Mahkota,Raden Fatah menolak duduk disinggahsana melanjutkan tahta kerajaan Majapahit. Justru sebaliknya,sang putra mahkota hasil dari pernikahannya dengan Dara Petak alias putri Raja Campa malah memilih mendirikan kerajaan Islam di Demak ketimbang melanjutkan tahta sang ayah.


Di satu malam, sang raja bermeditasi memohon petunjuk pada Tuhan Yang Maha Esa saat sang putra menolak menjadi raja.Dalam semedinya Brawijaya justru mendapatkan petunjuk jika kerajaan Majapahit akan pudar kejayaannya.


Setelah Prabu Brawijaya V mendapatkan suatu petunjuk, Brawijaya V pun akhirnya memutuskan mundur dari keramaian dunia.Termasuk melepaskan posisinya sebagai Raja Majapahit. Brawijaya pun memilih menyepi naik ke puncak Lawu bersama abdi setianya Ki Sabdo Palon.


Saat berada di puncak Lawu mereka bertemu dengan dua kepala dusun yang juga abdi dalem setia kerajaan, yaitu Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Dua orang itu tak tega membiarkan tuannya pergi bersama ke puncak Lawu.


Lokasi pertapaan Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi itu kini dikenal sebagai puncak “Hargo Dalem.” Sedangkan Ki Sabdo Palon sang abdi setia akhirnya meninggalkan tuannya, mengambil lokasi pertapaan di “Hargo Dumiling.”


Karena kesetiaannya Dipa Menggala, Sang Raja kemudian mengangkatnya sebagai penguasa Gunung Lawu. Ia diberi kekuasaan untuk membawahi semua makhluk gaib. Mulai yang ada di barat sampai gunung Merbabu, dari timur sampai ke Gunung Wilis, dari selatan sampai ke Pantai Selatan, serta dari Utara sampai ke Pantai Utara.


Abdi dalem ini kemudian diberi gelar “Sunan Gunung Lawu.” Sementara  Wangsa Menggala atau abdi dalem yang lain diangkat menjadi patih dan diberi gelar “Kiai Jalak.” (Dea)


Share this Article

TeraswisataTV

More Stories