Meski berukuran kecil, ada kisah menarik di balik penamaan kue batang buruk ini
TERASWISATA - Kue “batang buruk” tidak seburuk namanya. Rupanya menarik dan rasanya lezat. Ada kisah dari penamaan kue tradisional asal Bintan ini.
Provinsi Kepulauan Riau tak hanya kaya dengan keragaman budaya seni dan adat.
Provinsi dengan gugusan 1.350 pulau besar dan kecil ini juga menghadirkan kekayaan kuliner yang nikmat dan mengundang selera dan tentu saja unik.
Salah satunya adalah makanan ringan berupa “kue batang buruk”, yang biasa disajikan pada acara-acara khusus termasuk saat Hari Raya Idulfitri.
Kue ini ukurannya hanya berkisar 3-4 sentimeter. Kue tradisional ini masih bisa dijumpai di daerah Bintan dan Tanjungpinang.
Kue batang buruk tidaklah seburuk namanya. Rasanya lezat dan menggugah selera siapa saja yang mencicipinya.
Kue ini dibuat dari tepung gandum dicampur dengan tepung beras dan tepung kelapa yang diuli. Aneka tepung tadi kemudian dibentuk menjadi sebuah adonan menggunakan mesin pencampur atau mixer. Jangan lupa ditambahkan mentega dan sedikit air agar adonan lebih mengikat.
Setelah semua tepung bercampur rata menjadi sebuah adonan, kemudian potong adonan tadi menjadi tiga bagian besar untuk diratakan.
Lalu adonan yang telah rata dan tipis tadi dipotong-potong lagi menjadi beberapa bagian berbentuk persegi panjang.
Gunakan sebuah batang besi berbentuk silinder untuk menggulung adonan tipis persegi panjang itu membentuk gulungan berongga di bagian tengah.
Kemudian gulungan berongga tadi digoreng di minyak panas dan tiriskan. Setelah dingin, kue dimasukkan ke adonan berisi campuran serbuk kacang hijau goreng, gula halus dan susu bubuk atau susu kental manis.
Sebelum mencicipi, jangan lupa untuk mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
Cara ini sebagai bagian dari protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus corona. Ini juga agar tangan tetap dalam kondisi higienis dan terbebas dari virus dan kuman.
Kisah Menarik
Meski berukuran kecil, ada kisah menarik di balik penamaan kue batang buruk ini. Seperti dikutip dari laman Balai Pelestarian Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kue ini sudah dikenal sejak empat abad silam. Semua bermula dari kisah cinta Wan Sendari. Ia merupakan putri sulung Baginda Raja Tua yang memerintah Kerajaan Bintan sekitar 450 tahun silam.
Wan Sendari rupanya saat itu memendam rasa cinta kepada seorang pemuda nan gagah rupawan, namanya Raja Andak dengan gelar Panglima Muda Bintan. Namun sayang, cinta sang putri hanya bertepuk sebelah tangan. Sang pujaan hati justru lebih memilih Wan Inta yang tak lain adalah adik kandung Wan Sendari.
Sang putri yang sedang patah hati itu kemudian berusaha mengusir kegalauannya dengan menyibukkan diri mencoba sebuah resep masakan baru di dapur istana kerajaan bersama para pengasuhnya. Wan Sendari berhasil menciptakan sebuah kue ringan yang unik. Jika digigit kue maka akan hancur berderai.
Selepas membuat kue buatan sendiri, Wan Sendari lalu memohon kepada sang raja, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Ia memohon agar diperbolehkan menyajikan kue tadi untuk lingkungan istana termasuk juga kepada para tamu kerajaan.
Baginda Raja Tua tak mampu menolak permohonan tulus dari sang buah hati. Hatinya pun luluh dan memberi kesempatan Wan Sendari untuk menyajikan kue buatannya itu kepada para tamu kerajaan. Hingga pada suatu hari, Baginda Raja Tua pun menggelar sebuah pertemuan dan seluruh petinggi kerajaan dikumpulkan. Saat itu pula Wan Sendari memamerkan kue hasil karyanya untuk dinikmati oleh para tamu yang diundang ayahnya. Di antara para tamu tadi terdapat pula Raja Andak, lelaki idaman sang putri.
Ketika tiba waktunya sang raja mempersilakan mencicipi kue buatan putri kesayangan, para tamu pun antusias untuk segera melahap kue-kue yang mengundang selera itu. Sayangnya ketika sedang menikmati kue, mendadak mereka harus menahan malu. Lantaran kue-kue yang sudah lumat di dalam mulut para tamu mendadak berjatuhan.
Serpihannya berserak memenuhi sebagian pakaian kebesaran yang dikenakan para tamu. Mereka pun merasa malu dan hanya bisa tertunduk karena merasa kerepotan memakan kue buatan sang putri. Tetapi tidak demikian dengan Raja Andak, pria pujaan Wan Sendari. Hanya panglima muda ini saja yang memakan kue tetapi tidak satu pun serpihan kue yang mengotori baju kebesarannya.
Rupanya Panglima Muda Bintan memegang teguh filosofi di Kerajaan Bintan. “Biar pecah di mulut asal jangan pecah di tangan,” begitu bunyi filosofi yang berkembang saat itu. Ini menggambarkan bagaimana seorang bangsawan mempunyai etika pada saat makan. Tak terkecuali ketika sedang mencicipi sebuah kudapan.
Apabila seseorang bangsawan terburu-buru dan ceroboh ketika makan atau mencicipi penganan, maka mencerminkan betapa buruknya tingkah laku bangsawan tersebut. Ternyata melalui kue ini pula Wan Sendari membuktikan kepada dirinya bahwa ia tidak salah dalam memilih pria idaman meski pada akhirnya hanya bertepuk sebelah tangan.
Sumber : Indonesia.go.id