Jalak Lawu Hingga Eyang Lawu, Misteri Tak Terungkap di Gunung Purba

Kamis, 25 Februari 2021 : 21.57

0 komentar

Berbeda dengan Gunung lainnya di Indonesia, meski Selain kental dengan aura mistik, Gunung Lawu tetap menjadi primadona bagi para pendaki


Gunung Lawu diselimuti kabut (Foto: Ist)

TERAS WISATA - Kabut tebal menyelimuti Gunung Lawu. Tebalnya kabut yang menyelimuti Gunung dengan ketinggian 3.265 mdlp ini semakin mengukuhkan kearifanlokal masyarakat sekitar tentang misteri tak terungkap di Gunung yang memisahkan  Jawa Tengah dan Jawa Timur ini.


Gunung Lawu termasuk dalam kategori 'gunung tidur'. Gunung yang dulunya memiliki nama Wukir Mahendra ini termasuk dalam peringkat lima jajaran tujuh puncak tertinggi di Pulau Jawa yang terkenal dengan julukan Seven Summits of Java (Tujuh Puncak Pulau Jawa).


Salah satu tim Resque Karanganyar, Maryoto  yang sudah sangat akrab dengan gunung Lawu juga menyebutkan jika gunung ini termasuk paling angker dan menyimpan banyak misteri yang belum pernah terungkap.


"Kalau terangker mungkin iya, karena sampai sekarang Lawu itu belum terungkap misteri atau jati diri Lawu. Contoh yang paling nyata sampai sekarang tidak pernah ditemukan kuburan eyang Lawu dan Sunan Lawu," jelasnya di Karanganyar.


Berbeda dengan Gunung lainnya di Indonesia, meski Selain kental dengan aura mistik, Gunung Lawu tetap menjadi primadona bagi para pendaki.


Bagi para pendaki, nama burung satu ini begitu akrab bagi para pendaki. Kemunculannya sangat ditunggu para pendaki yang tersesat di gunung tersebut.


Ya, burung itu adalah seekor burung jalak. Burung yang diyakini sebagai salah satu abdi dalem Brawijaya. Yang ditugaskan untuk menjaga Gunung Lawu.


Kebanyakan, burung jalak berwarna hitam. Tapi, khusus jalak Lawu, dari cerita para pendaki, Gunung Lawu, kyai jalak ini paruhnya berwarna keemasan.


"Namun jika berniat baik, kyai Jalak akan mengantar pendaki sampai ke Puncak Gunung Lawu. Kyai Jalak bertemu  para pendaki, bukan untuk mencelakai, namun sebagian dari tugasnya  menjaga dan menjadi penunjuk jalan bagi para pendaki," terang Maryoto, pada TERASWISATA.COM, belum lama ini.


Sebab itulah, gunung yang juga diyakini merupakan salah satu poros di pulau Jawa ini banyak masyarakat  yang mempercayai bahwa Gunung Lawu adalah persinggahan Brawijaya V yang merupakan Raja Majapahit terakhir yang akhirnya menghilang bersama raganya alias muksa.


Menurut cerita leluhur yang didapat dari Sardi salah satu pemilik warung di sekitar pos pendakian Cemoro Kandang menyebutkan, jika gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan ada hubungan dekat dengan tradisi dan budaya keraton Solo dan Jogjakarta, misalnya upacara labuhan setiap bulan Sura.


"Gunung Lawu sangat populer untuk kegiatan pendakian. Setiap malam 1 Sura banyak orang berziarah dengan mendaki hingga ke puncak. Dan tiap  suro selalu diadakan upacara sesaji di gunung Lawu," jelasnya ketika di temui beberapa waktu lalu.


Gunung Lawu juga menyimpan misteri pada tiga puncaknya dan menjadi tempat yang dianggap sakral  di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini sebagai tempat pamoksan (menghilangnya) Prabu Brawijaya, Harga Dumiling diceritakan  sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon yang merupakan abdi setia dari Prabu Brawijaya, dan Harga Dumilah merupakan tempat yang meditasi pagi penganut kejawen.


Lebih lanjut Sardi menjelaskan, setiap pendaki yang pernah naik ke puncak Lawu pasti memahami berbagai larangan tidak tertulis yang harus dipatuhi.


Misalnya ketika akan mendaki gunung Lawu adalah  dilarang mengucapkan kata kesel (capai) ketika sedang dalam perjalanan menuju puncak.


"Tidak boleh ngresula (mengeluh), capai, nanti tiba-tiba stamina kita akan mendadak menurun. Jika berkata dingin maka kita akan kedinginan," jelasnya lagi..


Seperti kebanyakan gunung yang ada di Indonesia yang kental dengan aura mistisk, gunung Lawu memiliki pasar yang di sebut pasar setan. Yaitu pasar yang tak terlihat dengan kasat mata. Hanya terdengar suara ramai saja. Dan tidak semua orang bisa mendengarnya.


Selain  mendengar berbagai cerita mistik dari para pendaki yang istirahat di warung miliknya, Sardi juga pernah mengalami hal yang sama sewaktu mudanya dulu.


"Dulu saya pernah sekali mengalami. Makanya jika sedang mendaki dan mendengar suara berbahasa Jawa yang menanyakan 'arep tuku apa mas', (beli apa mas) segera saja buang uang berapa saja. Yang pasti buang di sekitar tempat di mana kita mendengar suaranya. Terus petik daun di sekitar tempat itu seperti kita sedang belanja," terangnya panjang lebar.


Selain Kyai Jalak sebagai penunjuk jalan, kadang kala juga muncul kupu-kupu berwarna hitam, namun di tengah kedua sayapnya terdapat bulatan besar berwarna biru mengkilap.


"Katanya jika melakukan pendakian, melihat kupu-kupu dengan ciri seperti itu adalah pertanda bahwa  kehadiran pendaki  disambut baik (diijinkan) oleh penjaga Gunung Lawu.  Jangan pernah  menganggu, mengusir dan membunuhnya," ungkapnya.


Dan yang paling penting adalah pantangan mengenakan baju berwarna  hijau daun, dan dilarang mendaki puncak lawu dengan rombongan yang berjumlah ganjil.


“Jangan naik puncak jika jumlah pendakinya ganjil,  takutnya nanti akan tertimpa kesialan. Satu hal lagi yang harus diingat, jika tiba-tiba ada  ampak-ampak (kabut dingin) yang di barengi suara gemuruh, jangan nekat naik.  Turun saja atau berbaring tertelungkup di tanah," pesannya. (Dia)




Share this Article

TeraswisataTV

More Stories