Masjid Peninggalan Kerajaan Pajang Bernuansa Hindu, Saksi Bisu Syiar Islam di Kota Solo

Minggu, 23 Juni 2019 : 23.09

0 komentar

TERASWISATA - Kota Solo memiliki banyak bangunan kuno berupa masjid yang memiliki nilai sajarah dan budaya yang sangat tinggi yang di bangun sejak jaman kerajaan kuno.

Diantaranya adalah  Masjid Laweyan, Masjid Agung Surakarta milik milik Kraton Surakarta, Masjid Al Wustho milik Puro Mangkunegaran dan Masjid Kepatihan.

Salah satu masjid di Solo yang menjadi bukti dan saksi sejarah syiar agama Islam masa lampau dan masih berdiri dengan kokoh adalah Masjid Laweyan. Meski sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu namun kondisinya masih kuat dan dijadikan tempat beribadah umat muslim sampai saat ini.

Masjid Laweyan merupakan masjid tertua di Kota Solo ini menjadi salah satu pusat penyiaran agama Islam. Masjid ini didirikan saat pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Kerajaan Pajang, yakni jauh sebelum berdirinya Masjid Agung Solo, pada 1763 dan 300 tahun sebelum berdirinya Kota Solo.

Masjid Laweyan ini di bangun pada masa Kerajaan Pajang sekitar tahun  1546. Awalnya bangunan ini adalah Pura karena kerajaan jaman dulu dipengaruhi kultur Hindu. Merupakan pura milik Ki Ageng Belukan, tokoh yang juga pemuka agama Hindu.

Uniknya bangunan masjid ini Masjid Laweyan dipengaruhi arsitektur Hindu-Jawa. Terlihat dari bentuk ruang  ruang masjid yang di bagi menjadi tiga. Yakni  ruangan induk, serambi kanan dan serambi kiri.

Serambi kanan menjadi tempat khusus putri atau keputren, sedang serambi kiri merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah. Sebab itulah bentuk dari bangunan Masjid Laweyan merupakan pengaruh Hindu-Jawa.

Terlihat dari tata ruang dan juga sisa ornamen yang ada di masjid. Luas masjid ini 18×9 meter, bangunannya terbuat dari kayu jati kuno, dan memiliki empat menara kecil di setiap sudutnya. Seiring masuknya ajaran Islam, pura tersebut beralih fungsi menjadi pusat syiar Islam.

Atas campur tangan dari Ki Ageng Henis, seorang  penasihat spiritual Kerajaan Pajang, juga sahabat Sunan Kalijaga maka pura tersebut di jadikan masjid sebagai tempat mensyiarkan agama Isalam.

Akhirnya Ki Ageng Beluk pemilik pura tersebut tertarika dan kemudian  memeluk Islam. Bahkan makam Ki Ageng Beluk dan Ki Ageng Henis berada  di kompleks pemakaman di samping masjid.

Menurut pengurus Masjid Laweyan Wahid Isnanto, menyebutkan mulai berdiri sampai saat ini namanya tetep Masjid Laweyan sesuai wilayahnya yakni Laweyan. Padamasa perkembangan Masjid Laweyan juga pernah menjadi pesantren yang memiliki banyak santri.

Bahkan ada kisah saking banyaknya santri yang mondok, karenanya pengurus memasak nasi terus menerus untuk memenuhi kebutuhan makan mereka. Sehingga di dalam dapur asap dari tungku tidak pernah berhenti dan terus mengebul.

"Hingga kampung tempat pesantren tersebut dikenal dengan Kampung Kabelukan yang berasal dari kata beluk (asap). Sementarai itu Ahmad Yani, salah satu warga Pajang yang sering Sholat di Masjid ini sebut selama bulan Ramadan ini pendatang dari  dari luar kota yang melakukan iktikaf di masjid. Terutama pada sepuluh hari terakhir.

"Pada bulan Ramadhan banyak kegiatan keagamaan di sini. Buka puasa dan beritikaf di masjid," pungkasnya. (Uut)

Share this Article

TeraswisataTV

More Stories