Jam Matahari Penanda Waktu Dzuhur dan Ashar di Masjid Agung Solo

Minggu, 23 Juni 2019 : 23.13

0 komentar

TERASWISATA - Bentuk bangunanya yang megah dengan arsitektur Jawa, Masjid Ageng Keraton Surakarta menjadi salah satu saksi sejarah  menjadi pusat syiar Islam di kota Solo.

Sebagai salah satu pusat syiar agama Islam, sampai saat ini Masjid Agung Kraton Solo selalu ramai dikunjungi masyarakat Solo. Banyak keuninkan dari bangunan masjid Agung ini, baik desain maupun alat penanda waktu Sholat.

Kota Solo memiliki banyak keunikan tradisi, budaya juga  keunikan arsitektur. Salah satu keunikan yang bisa kita lihat adalah Istiwak atau  jam matahari kuno yang berada di halaman Masjid Agung Solo. Meskipun namanya jam, namun istiwak berbeda dari jam-jam pada umumnya.

Jaman mulai berubah, disaat semua mulai  menggunakan tekhnologi modern yang serba canggih, Masjid Agung Solo masih menggunakan cara tradisional dengan jam matahari untuk menandai datangnya waktu sholat.

Keunikan jam yang menggunakan sinar matahari sebagai penunjuk waktu sampai saat ini masih dipertahankan sebagai icon khas Masjid milik Kraton Solo ini yang ramai dikunjungi masyarakat. Masyarakat menyebutnya jam istiwak atau jam matahari.

Jam matahari yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu saat masyarakat belum mengenal jam digital, masjid Agung Solo sudah memiliki jam sendiri sebagai penanda waktu terutama saat waktu sholat Dhuhur dan Ashar tiba. Hingga saat ini, umat Islam di Solo terutama di sekitar Kraton Solo.

Banyak juga pengunjung dari luar daerah tertarik melihat jam Istiwak sebelum melakukan salat di Masjid Agung. Terlebih, selama Ramadan ini, makin banyak pengunjung yang berdatangan karena penasaran ingin melihat secara langsung.

Terletak di depan sebelah kiri beranda Masjid, ada sebuah bangunan dengan tinggi mencapai satu meter yang diatasnya ada sebuah kotak kaca yang didalamnya ada sebuah kotak dan dibagian tengahnya berbentuk cekung. Ditengahnya terdapat plat dari bahan kuningan dan di dalamnya.

Di tengah cekungan, terdapat jarum penunjuk berbahan kuningan. Terdapat beberapa garis dan angka 1-12 di permukaan kuningan itu. Di samping cekungan, terdapat sebuah logam batang berdiri menunjuk ke atas. Cara kerja jam Istiwak cukup sederhana, tidak rumit, hanya mengandalkan bayangan sinar matahari.

Untuk menciptakan bayangan yang jatuh di permukaan kuningan tersebut, jarum besi sepanjang sekitar 10 sentimeter dilekatkan di tengah sejulur besi sepanjang 18 sentimeter yang menghubungkan kedua sisi permukaan kuningan.

Ketika sinar matahari jatuh pada permukaan jam tersebut, maka bayangan jarum yang menghadap sisi selatan-utara akan menunjuk ke salah satu angka yang tertera pada kuningan itu. Seperti halnya jam konvensional, pada permukaan kuningan itu terdapat 12.

"Saat sinar matahari mengenai logam tersebut akan menunjukkan angka yang menandakan jam tertentu," jelas Abdul Basyit Adnan, pengurus Masjid Agung di Solo belum lama ini.

Jika waktu sudah menunjukkan pukul 12, maka bayangan jam tersebut jatuh tepat di tengah angka 12. Karena menggunakan matahari, alat ini hanya dapat menunjukkan waktu salat Dzuhur dan Ashar.

"Namun seperti namanya jam matahari, hanya bisa digunakan sebagai penanda waktu Zuhur dan Asar karena sinar matahari hanya muncul pada dua salat tersebut," pungkasnya. (Luk)

Share this Article

TeraswisataTV

More Stories